Melanjutkan
postingan sebelumnya tentang mengapa kita (masyarakat) mempunyai mental “Do and
Reward”. Saya baru menyadari bahwa mental ini bisa menjadi slah satu penybab
bangsa kita dengan mudah dibohongi dan dimanfaatkan, mental yang selalu
berdasar pada hasil akhir ini telah kita pelajari atau orang lain ajarkan dari
semenjak kita balita. Pesan bawah sadar yang akan selalu menempel di otak kita
sampai kapan pun jika kita tidak berusaha meninggalkannya. Kata Do dan Reward
yang dalam bahasa Indonesia berarti “lakukan dan penghargaan” memang tidak
terdengar merusak bahkan mungkin sebagian orang berfikir ya.. harus seperti
itu, ketika melakukan apa pengharggaan buat kita??
Tidak
akan merusak apabila kita sebagai orang tua atau sebagai masyarakat yang
mengetahui tidak langsung menekankan apa yang kita dapat setelah semuanya
selesai, tapi ajarkan tentang tanggung jawab, hak ddan kewajiban. Kita akan
melakukan hal tersebut tanpa harus memikirkan apa yang kita dapat, tapi kita
memang harus melakukannya karna itu tanggung jawab saya, itu kewajiban saya dan
nanti saya akan mendapatkan hak saya.
Contoh
kecil bagaimana mental “Do and Reward” ini bekerja semenjak kita balita, kita
sering menjumpai percakapan orang tua dengan anaknya, misalkan “nak tolong
belikan ibu beras nanti ibu kasih uang”. Saya pikir apabila anak sudah paham
betul bagaimana menjadi seorang anak dia tidak akan pernah menolak ketika orang
tua menyuruhnya, seringnya anak menolak, jadi orang tua mengambil jalan pintas
dengan memberinya penghargaan atas apa yang anak lakukan untunya yaitu “uang”.
Salahkah melakukan hal itu?? Tidak selalu memang, tapi bukan cara terbaik untuk
mendidik anak, dikemudian hari anak akan terus meminta apa yang saya dapat
ketika ibu/bapa menyuruh saya? Ini akan menjadi masalah ketika orang tua tidak
bisa memberinya reward dalam bentuk fisik. Disinilah pentingnya orang tua yang
cerdas dan paham bagaimana mengajarkan anaknya hak dan kewajiban seorang anak
dan orang tua, mengajarkan bagaimana agama kita (muslim) mengatur semua itu. Jadi
ketika anak diminta untuk melakukan sesuatu untuk orang tuanya mereka tidak
akan menolak (selama suruhan itu baik) dan mereka tidak akan berfikir setelah
ibu/bapa menyuruh saya, apa yang saya dapat? Tapi mereka memahami bahwa seperti
inilah saya menjadi seorang anak yang berbakti dan menghargai orang tua saya
inilah kewajiban saya sebagai anak dan memang itulah hak sebagai orang tua.
Setelah mereka (anak) paham semua itu tidak diharamkan untuk orang tua
memberinya reward atas yang mereka lakukan, namun harus tau kapan waktu yang
tepat.
Islam
mengajarkan semuanya tentang kehidupan manusia yang terdapat di Al-Quran dan
Al-Hadist, kedua kitab inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur seorang
muslim. Apakah islam mengajarkan masalah Do and reward?? Ya, tapi sebelum itu
kita diberi tau bagaimana menjadi manusia yang baik dan benar, semuanya ada di
Al-Quran, mengapa tidak membukanya dan kemudian mengkaji jika memang ingin
menjadi sebenarnya manusia. Pengetahuan tentang agamalah yang seharusnya
menjadi pondasi untuk mendidik dan bagaimana berbuat. Pengetahuan yang mendalam
tentang agamalah yang juga bisa menjaga kita dari kerusakan-kerusakan mental,
menjaga kita tetap pada jalur yang benar.
Jangan
sekali-kali merusak keindahan beragama dan beribadah dengan iming-iming hadiah,
surga, bidadari atau harta yang berlimpah. Tapi sekali lagi, inilah yang
terjadi, bahwasannya beribadah (menyembah) telah kita campuri dengan bumbu
layaknya bisnis, yang selalu berbicara untung dan rugi. Sering mendengar
apabila laki-laki solat dimesjid (berjamaah) akan mendapatkan pahala 27 derajat
daripada yang solat sendiri yang hanya 1 derajat?? Atau ketika anda menderita penyakit tertentu
kemudian anda berjuang sampai akhirnya meninggal pahalanya sama dengan
berjihad? Itu sering sekali diperdengarkan dipengajian-pengajian, khotbah dan
tempat2 lain. Tapi satu pertanyaan saja tentang fenomena tersebut, kenapa harus
memperhitungkan pahala, derajat atau keuntungan?? Allah bukan CEO atau presiden
direktur yang hanya melihat dari sisi profit, tapi Dia melihat keikhlasan,
ketulusan dan kecintaan manusia sebagai hamba kepada tuhannya.
Tidak
salah apabila solat berjamaah dimesjid itu lebih baik daripada solat sendiri
dirumah, tapi haruskah dengan iming2 pahala?? Sedangkan yang saya tau dan mengerti
dari mulai takbir sampai salam tidak ada bacaan yang membicarakan tentang
pahala. Solat bukan berdoa, tapi bentuk penyembahan seorang hamba kepada
tuhannya. Esensi dari penyembahan itu yang seharusnya sebagai seorang muslim
pelajari, yaitu penggabungan dari rasa kecintaan paling tinggi, rasa takut
paling tinggi dan kepasrahan yang paling tinggi itulah sembahyang, bukan
pahala, surga, bidadari atau derajat. Jadi ketika kita menyuruh seseorang untuk
sembahyang dimesjid cari&beri tau cerita apa yang terjadi dulu ketika zaman
Rosulullah laki-laki diharuskan kemesjid dan yang paling penting belajarlah
ilmu Tauhid. Jika anda tau bahwa surga&neraka itu tidak ada apakah anda
akan tetap solat, mengaji dan berbuat baik?? Bahkan sisi yang paling ngeri
adalah “jika anda melakukan ibadah, berbuat baik bahkan berjihad di jalan Allah
tapi Tauhid anda rusak, maka rusaklah semua amal&ibadahnya”. Jadi mengapa
harus menunda mempelajarinya??
Sobat,
agama bukanlah hal yang harus diperbincangkan masalah untung dan rugi, bukan masalah
Do and Reward tapi masalah yakinkah apa yang kita lakukan ini hanya untuk-Nya??
Mengharap ridho-Nya? Mental untung rugi dan Do and Reward tidak terasa sudah
hinggap dalam diri kita sejak lama. Masalah keluarga, masalah hubungan dan
masalah bangsa ini bukan orang lain yang tidak mengerti, anak yang bandel dan
susah diatur atau pemerintah yang tidak becus, tapi apakah kita pernah melihat
diri kita seperti apa, mengajarkan apa dan berbuat apa?? Baguskah diri kita
dimata-Nya?