brahmanda sandie

brahmanda sandie

Jumat, 09 Januari 2015

Do and Reward

Melanjutkan postingan sebelumnya tentang mengapa kita (masyarakat) mempunyai mental “Do and Reward”. Saya baru menyadari bahwa mental ini bisa menjadi slah satu penybab bangsa kita dengan mudah dibohongi dan dimanfaatkan, mental yang selalu berdasar pada hasil akhir ini telah kita pelajari atau orang lain ajarkan dari semenjak kita balita. Pesan bawah sadar yang akan selalu menempel di otak kita sampai kapan pun jika kita tidak berusaha meninggalkannya. Kata Do dan Reward yang dalam bahasa Indonesia berarti “lakukan dan penghargaan” memang tidak terdengar merusak bahkan mungkin sebagian orang berfikir ya.. harus seperti itu, ketika melakukan apa pengharggaan buat kita??
Tidak akan merusak apabila kita sebagai orang tua atau sebagai masyarakat yang mengetahui tidak langsung menekankan apa yang kita dapat setelah semuanya selesai, tapi ajarkan tentang tanggung jawab, hak ddan kewajiban. Kita akan melakukan hal tersebut tanpa harus memikirkan apa yang kita dapat, tapi kita memang harus melakukannya karna itu tanggung jawab saya, itu kewajiban saya dan nanti saya akan mendapatkan hak saya.
Contoh kecil bagaimana mental “Do and Reward” ini bekerja semenjak kita balita, kita sering menjumpai percakapan orang tua dengan anaknya, misalkan “nak tolong belikan ibu beras nanti ibu kasih uang”. Saya pikir apabila anak sudah paham betul bagaimana menjadi seorang anak dia tidak akan pernah menolak ketika orang tua menyuruhnya, seringnya anak menolak, jadi orang tua mengambil jalan pintas dengan memberinya penghargaan atas apa yang anak lakukan untunya yaitu “uang”. Salahkah melakukan hal itu?? Tidak selalu memang, tapi bukan cara terbaik untuk mendidik anak, dikemudian hari anak akan terus meminta apa yang saya dapat ketika ibu/bapa menyuruh saya? Ini akan menjadi masalah ketika orang tua tidak bisa memberinya reward dalam bentuk fisik. Disinilah pentingnya orang tua yang cerdas dan paham bagaimana mengajarkan anaknya hak dan kewajiban seorang anak dan orang tua, mengajarkan bagaimana agama kita (muslim) mengatur semua itu. Jadi ketika anak diminta untuk melakukan sesuatu untuk orang tuanya mereka tidak akan menolak (selama suruhan itu baik) dan mereka tidak akan berfikir setelah ibu/bapa menyuruh saya, apa yang saya dapat? Tapi mereka memahami bahwa seperti inilah saya menjadi seorang anak yang berbakti dan menghargai orang tua saya inilah kewajiban saya sebagai anak dan memang itulah hak sebagai orang tua. Setelah mereka (anak) paham semua itu tidak diharamkan untuk orang tua memberinya reward atas yang mereka lakukan, namun harus tau kapan waktu yang tepat.
Islam mengajarkan semuanya tentang kehidupan manusia yang terdapat di Al-Quran dan Al-Hadist, kedua kitab inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur seorang muslim. Apakah islam mengajarkan masalah Do and reward?? Ya, tapi sebelum itu kita diberi tau bagaimana menjadi manusia yang baik dan benar, semuanya ada di Al-Quran, mengapa tidak membukanya dan kemudian mengkaji jika memang ingin menjadi sebenarnya manusia. Pengetahuan tentang agamalah yang seharusnya menjadi pondasi untuk mendidik dan bagaimana berbuat. Pengetahuan yang mendalam tentang agamalah yang juga bisa menjaga kita dari kerusakan-kerusakan mental, menjaga kita tetap pada jalur yang benar.
Jangan sekali-kali merusak keindahan beragama dan beribadah dengan iming-iming hadiah, surga, bidadari atau harta yang berlimpah. Tapi sekali lagi, inilah yang terjadi, bahwasannya beribadah (menyembah) telah kita campuri dengan bumbu layaknya bisnis, yang selalu berbicara untung dan rugi. Sering mendengar apabila laki-laki solat dimesjid (berjamaah) akan mendapatkan pahala 27 derajat daripada yang solat sendiri yang hanya 1 derajat??  Atau ketika anda menderita penyakit tertentu kemudian anda berjuang sampai akhirnya meninggal pahalanya sama dengan berjihad? Itu sering sekali diperdengarkan dipengajian-pengajian, khotbah dan tempat2 lain. Tapi satu pertanyaan saja tentang fenomena tersebut, kenapa harus memperhitungkan pahala, derajat atau keuntungan?? Allah bukan CEO atau presiden direktur yang hanya melihat dari sisi profit, tapi Dia melihat keikhlasan, ketulusan dan kecintaan manusia sebagai hamba kepada tuhannya.
Tidak salah apabila solat berjamaah dimesjid itu lebih baik daripada solat sendiri dirumah, tapi haruskah dengan iming2 pahala?? Sedangkan yang saya tau dan mengerti dari mulai takbir sampai salam tidak ada bacaan yang membicarakan tentang pahala. Solat bukan berdoa, tapi bentuk penyembahan seorang hamba kepada tuhannya. Esensi dari penyembahan itu yang seharusnya sebagai seorang muslim pelajari, yaitu penggabungan dari rasa kecintaan paling tinggi, rasa takut paling tinggi dan kepasrahan yang paling tinggi itulah sembahyang, bukan pahala, surga, bidadari atau derajat. Jadi ketika kita menyuruh seseorang untuk sembahyang dimesjid cari&beri tau cerita apa yang terjadi dulu ketika zaman Rosulullah laki-laki diharuskan kemesjid dan yang paling penting belajarlah ilmu Tauhid. Jika anda tau bahwa surga&neraka itu tidak ada apakah anda akan tetap solat, mengaji dan berbuat baik?? Bahkan sisi yang paling ngeri adalah “jika anda melakukan ibadah, berbuat baik bahkan berjihad di jalan Allah tapi Tauhid anda rusak, maka rusaklah semua amal&ibadahnya”. Jadi mengapa harus menunda mempelajarinya??
Sobat, agama bukanlah hal yang harus diperbincangkan masalah untung dan rugi, bukan masalah Do and Reward tapi masalah yakinkah apa yang kita lakukan ini hanya untuk-Nya?? Mengharap ridho-Nya? Mental untung rugi dan Do and Reward tidak terasa sudah hinggap dalam diri kita sejak lama. Masalah keluarga, masalah hubungan dan masalah bangsa ini bukan orang lain yang tidak mengerti, anak yang bandel dan susah diatur atau pemerintah yang tidak becus, tapi apakah kita pernah melihat diri kita seperti apa, mengajarkan apa dan berbuat apa?? Baguskah diri kita dimata-Nya?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar