brahmanda sandie

brahmanda sandie

Minggu, 04 Januari 2015

We Choose, We Know What the Risk

Kita bisa memaafkan bahkan satu detik setelah dia melakukan kesalahan tanpa harus ada pemberitahuan permintaan maaf. Tapi tidak semua orang bisa melakukan hal tersebut. Seringnya kesalahan dan kebodohan masa lampau hanya untuk diungkit dan jadi bahan olok-olok. Pantaskah untuk seseorang yang ingin membangun hubungan yang sehat dan serius kejenjang berikutnya melakukan hal tersebut?
Terkadang saya berfikir, hal bodoh bisa dilakukan siapapun untuk membuktikan adanya cinta dan perasaan, bahkan hal memalukan pun bisa dilakukan tanpa terkendali. Mengapa semua ini harus didebatkan dan terus diungkit. Setiap orang mempunyai sisi-sisi yang lain tidak diketahui tapi harusnya diketahui. Mungkin dengan melihat sisi lain atau dengan sudut pandang yang berbeda kita akan mengerti mengapa seseorang melakukan hal bodoh dan memalukan.
Berkata “maaf karena saya telah melakukan hal bodoh” tidaklah semudah yang terpikir, kita harus mengalahkan sifat ego kita untuk mengatakan “maaf”, kita harus mengalahkan rasa benar kita atas peristiwa yang terjadi dari sudut pandang kita sendiri dan mencoba menyelami sudut pandang orang lain yang merasa dipermalukan. Haruskah dan pantaskah seseorang itu berkata bahwa kamu meminta maaf tidak dengan tulus (sungguh-sungguh)? Kita tidak akan pernah tau hati seseorang, yang harus kita pahami adalah menerima dan mempercayainya bahwa itu sungguh-sungguh. Sanggupkah melanjutkan hubungan bila semua masalah dan kesalahan terus kembali dibuka hanya untuk memuaskan amarah atau terpengaruhi orang sekitar dan sejarah masalalu?
Pernahkan menyesali pilihan yang jelas anda sendiri yang menentukan?? Kemudian teringat peristiwa manis masa lampau yang mungkin belum terpuaskan sehingga objek yang kita pilih tadi menjadi sasaran untuk disalahkan?? Bukankah harusnya hati yang bersih menjadi pondasi untuk kita membangun kembali sebuah cerita tanpa sedikitpun kontaminasi emosi masa lampau? Ketika cerita baru terkontaminasi emosi masa lalu sangat beresiko terjadi konflik yang berkepanjangan tanpa adanya penyelesaian, semuanya seolah terulang terus menerus. Kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa letak keasalahan itu sebenarnya diri kita sendiri yang tidak pernah menyimpan masa lalu dibelakang punggung layaknya ransel yang kita pakai (dia akan tetap ada/mengikuti namun hanya jadi pengingat bahwa disana beriisikan setumpuk buku pelajaran) namun tersimpan disamping, diatas atau dibawah, jadi ketika hal yang buruk terjadi kita cenderung membandingkan, menyalahkan tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya yaitu diri kita sendiri. Benar memang, tidak ada seorang pun yang ingin disalahkan (setiap orang mempunyai sudut pandang tersendiri), karena ketika konflik terjadi tidak mungkin hanya melibatkan satu orang saja, semua orang yang terlibat dalam konflik tersebut mempunyai peran masing-masing dalam menciptakan konflik tersebut, tapi mengapa kita tidak mencoba memahami diri sendiri, berbicara dengan diri sendiri apa yang sebenarnya terjadi, peran apa yang saya ambil dalam konflik tadi kemudian kembali berbicara.
Jangan pernah melupakan yang telah terjadi karna ketika kita mencoba atau bahkan melupakan berarti anda tidak pernah belajar dengan baik dari kejadian tersebut. Teruslah menjadi individu yang bangga akan pilihannya walau terkadang pilihan kita menjadi objek caci maki atau pujian karena pilihan tersebut, karena disanalah menariknya, disanalah kita belajar menentukan sikap dan berani dengan segala resiko yang akan terjadi sehingga pada akhirnya kita tidak akan menyalahkan objek yang kita pilih sebagai biang keladi atau menyesali peristiwa lampau yang terlalu manis untuk dilewatkan.


(Curug Apid, 1-1-2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar